Memaknai Sumpah Pemuda dari Desa : Konsekusensi UU tentang Desa dan Pemuda Desa

Indonesia dalam perkembanganya senantiasa melakukan perencanaan dan pengembangan kearah yang lebih baik. Berbagai inovasi dan strategi dilakukan untuk mewujudkan cita-cita bangsa. Salah satunya adalah pembangunan yang berasal dari desa atau dikenal dengan istilah Desa membangun- Membangun Desa. Desa membangun berarti menempatkan desa sebagai subjek dalam pembangunan, mulai perencanaan, pelaksanaan, dan desa sebagai penerima manfaat pembangunan. Sedangkan Membangun desa berarti pembangunan yang dilaksanakan oleh pemerintah di luar desa (kabupaten/pusat) dengan melibatkan masyarakat di desa. Pembangunan desa terutama dilakukan untuk mengembangkan kawasan pedesaan atau pembangunan yang melibatkan beberapa desa (antar desa).

Pendekatan-pendekatan pemabangunan diatas dilakukan karena kesadaran bahwa desa adalah aspek penting dalam proses pembangunan Indonesia dari hulu. Desa mempunyai posisi dan potensi strategis serta aspek khusus dalam pemabangunan Indonesia. Hal ini bisa dilihat dari segi jumlah keberadaan desa, data BPS menyebutkan bahwa terdapat 72.944 wilayah administrasi desa yang tersebar dari sabang sampai merauke. Sejumlah 72.944 desa adalah angka yang sangat tinggi dan tentunya hal ini jadi menjadi bagian penting akan bangkitnya Indonesia yang berwal dari hulu yaitu desa. Desa juga menjadi sumber kekayaan alam Indonesia, diantaranya adalah sumber pertanian, peternakan, ataupun perikanan yang konsisten dalam menyuplai kebutuhan Indonesia.

Sejalan dengan potensi yang terkandung didalam desa, pemerintah Indonesia mempunyai komitmen dalam melakukan pembangunan yang berkonsep dari bawah atau yang biasa dikenal istilah Bottom up. Komitmen tersebut ditunjukan oleh pemerintah dengan mengeluarkan dan mengesahkan UU No.6 Tahun 2014 tentang Desa. Lahirnya undang-undang ini didasari bahwa dalam perjalanan ketatanegaraan Republik Indonesia, Desa telah berkembang dalam berbagai bentuk sehingga perlu dilindungi dan diberdayakan agar menjadi kuat, maju, mandiri, dan demokratis sehingga dapat menciptakan landasan yang kuat dalam melaksanakan pemerintahan dan pembangunan menuju masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera.

Turunya UU Desa menjadi menjadi momentum bagi Desa untuk mengelola rumah tangganya sediri secara lebih optimal dan melibatkan dirinya dalam proses pembangunan yang ada di Indonesia. Momentum yang dimaksut adalah dengan dialokasinya dana khusus terhadap desa yang bersumber dari APBN sebagai modal pembangunan desa. Banyak aspek yang kemudian bisa dibangun dengan turunya dana tersebut, diantaranya dari aspek insfrastruktur desa, kesehatan, perekonomian, pendidikan dan kesejahteraan masyarakat desa.

Konsekuensi lahirnya UU tentang Desa

Lahirnya UU Desa No.6 Tahun 2014 mempunyai konsekuensi tersendiri terhadap desa, yaitu desa harus bisa menjalankan pemerintahanya secara rapi, akuntabel dan menaati segala proses birokrasi yang ada. Sepertinya halnya yang dijelaskan dijelaskan dalam UU No.16 Tahun 2014 tepatnya pada pasal 4, bahwa  tujuan dari adanya UU tersebut diantaranya adalah untuk membentuk Pemerintahan Desa yang profesional, efisien dan efektif, terbuka, serta bertanggung jawab,  meningkatkan pelayanan publik bagi warga masyarakat Desa guna mempercepat perwujudan kesejahteraan umum.

Pemerintahan desa harus segera berbenah diri dalam proses implementasi UU Desa untuk mendapatkan hasil yang sesuai dengan tujuan yang dicanangkan. Namun, disisi lain desa juga masih banyak memiliki keterbatasan-keterbatasan tertentu khususnya pada organisasi pemerintahannya, sehingga hal tersebut juga akan mempengaruhi dalam pengelolaan alokasi dana desa. Seperti halnya yang telah disampaikan oleh Wasistiono dan tahir (2006:96) dalam Thomas (2013), mereka menyatakan bahwa unsur kelemahan yang dimiliki oleh pemerintahan desa pada umumnya yaitu : (1) Kualitas sumber daya aparatur yang dimiliki desa pada umumnya masih rendah. (2) Belum sempurnanya kebijakan pengaturan tentang organisasi pemerintah desa, sejak dikeluarkan peraturan pemerintah No 72 tahun 2005 tentang desa, masih diperlukan beberapa aturan pelaksana baik sebagai pedoman maupun sebagai operasional. (3) Rendahnya kemampuan perencanaan ditingkat desa, sering berakibat pada kurangnya sinkronisasi antara output (hasil/keluaran) implementasi kebijakan dengan kebutuhan dari masyarakat yang merupakan input dari kebijakan. (4) Sarana dan prasarana penunjang operasional administrasi pemerintah masih sangat terbatas, selain mengganggu efisiensi dan efektivitas pelaksanaan pekerjaan, juga berpotensi menurunkan motivasi aparat pelaksana, sehingga pada akhirnya menghambat pencapaian tujuan, tugas dan pekerjaan.

Proses turunya dana desa secara singkat akan melewati birokrasi sebagai berikut, mulai dari pengalokasian, penganggaran, penggunaan, pemantauan dan evaluasi. Hal ini berarti, kerigitan dari sisi administrasi oleh pemerintahan desa dalam proses birokrasi yang ada menjadi sangat penting. Disisi lain, hal ini pulalah yang sering menjadi blunder pejabat pemerintah desa dalam pelaksanaan tugasnya. Sehingga ada yang terjerat kasus penggelapan dan bentuk korupsi lainya. Dalam kompas edisi 12 Mei 2016 menyebutkan, Enam kepala desa di Kabupaten Seram Bagian Timur, Maluku, ditetapkan menjadi tersangka atas dugaan korupsi penyalahgunaan dana desa pada tahun 2015. Dari total anggaran berkisar Rp 250 juta-Rp 300 juta per desa, sekitar 30 persennya disalahgunakan. Data di daerah lain menyebutkan, berdasarkan fakta yang didapatkan Inspektorat Kabupaten Malang, pada tahun 2014, (Kolom, Radar Malang, Jawa Pos selasa, 13 januari 2015) ada sekitar 75 kades atau 20% dari total 378 kades di Kabupaten Malang yang melakukan penyalahgunaan anggaran dan tidak tertib administrasi

Sehingga, menjadi sorotan khusus terkait kemampuan desa dalam mengatur pengalokasian dana desa, menjalankan birokrasi yang ada, serta kemampuan untuk mencapai tujuan dari UU Desa tersendiri. Sorotan tersebut muncul karena adanya kekawatiran akan terjadinya korupsi tingkat bawah dalam tataran pemerintah desa, munculnya raja-raja kecil dan ketidakefektifan dalam proses pembangunan desa.

Memaknai Urgensi Pemuda Desa

 Kami Poetra Dan Poetri Indonesia Mengakoe Bertoempah Darah Jang Satoe, Tanah Air Indonesia

Kami Poetra Dan Poetri Indonesia, Mengakoe Berbangsa Jang Satoe, Bangsa Indonesia

Kami Poetra Dan Poetri Indonesia Mengjoenjoeng Bahasa Persatoean, Bahasa Indonesia

(Teks Sumpah Pemuda)

 Memaknai isi sumpah pemuda membuat kita sadar, bahwa pemuda harusnya mempunyai visi besar, cita-cita besar dan senantiasa kontribusi besar untuk Indonesia. Dalam konteks ini adalah Desa, yaitu peran pemuda terhadap desa.

Dalam penjelasan sebelumnya sudah disebutkan, bahwa salah satu kelemahan Desa dalam menghadapi konsekuensi UU tentang Desa adalah Kualitas sumber daya aparatur yang dimiliki desa pada umumnya masih rendah. Penjelasan dan analisis ini juga disebutkan beberapa jurnal lainya yang membahas terkait kesiapan pemerintah desa dalam menghadapi UU tentang Desa. Hal ini berarti bahwa, faktor SDM menjadi faktor kuat dalam suksesi tujuan mulia dari lahirnya UU tersebut. Kualitas SDM mempunyi efek domino terhadap munculnya kelemahan-kelemahan yang lainya, karena posisinya yang sentral sebagai operator dari suatu pemerintahan desa.

Hal senada disampaikan secara eksplisit oleh Titiek Puji Astuti dan Yulianto dalam jurnalnya yang berjudul Good Governance Pengelolaan Keuangan Desa Menyongsong Berlakunya Undang-Undang No. 6 Tahun 2014,

Hambatan yang krusial yang dapat ditemui dalam mewujudkan good governance pengelolaan keuangan desa adalah kurangnya sumber daya manusia yang cakap dalam pengelolaan keuangan desa. Perlu adanya sumber daya manusia minimal D3 akuntansi yang dapat mengelola dana desa dengan cekatan.

Berdasarkan penjelasan diatas, pemuda desa menjadi aspek penting dalam menjadi jawaban terhadap kelemahan ataupun tantangan dari konsekuensi UU tentang Desa. Karena pemudalah yang pada saat ini mempunyai kesempatan untuk belajar yang lebih tinggi, melanjutkan ke perguruan tinggi, akses teknologi dan informasi yang luas, dan penerimaan terhadap perkembangan dunia luar atau modern. Hal ini berarti pemuda harusnya mempunyai kemampuan berfikir kritis dan kreatif dalam memanfaatkan kesempatan-kesempatan yang ada sebagai instrument untuk suksesi tujuan dari UU tentang Desa.

Berpikir kritis yang dimaksut dalam konteks ini adalah pemuda desa menjadi SDM strategis dalam proses mengatur birokrasi pemerintahan desa yang sesuai dengan proses yang ada pada aturan UU tentang Desa. Sedangkan berfikir kreatif maksutnya adalah pemuda menggunakan segala modal sosialnya untuk memanfaatkan peluang UU tentang Desa ini untuk pengembangan desa, baik dari sisi Bada Usaha Milik Desa (BUMDES), pengembangan desa wisata, kegiatan karangtaruna yang produktif, aktivitas sosial, dan berbagai macam aktivitas lainya.

Pergantian satu generasi ke generasi berikutnya adalah sebuah keniscayaan, menjadi generasi penerus yang cerdas adalah pilihan. Hal inipulalah yang terjadi kepada pemerintahan desa dan generasi muda, sinyal inilah yang kemudian harus ditangkap dengan seksama, baik generasi tua ataupun generasi muda. Sejak dini generasi tua harus mengikutsertakan generasi muda untuk berperan aktif dalam proses aktivitas kegiatan desa, sehingga mereka paham akan urgensi dirinya dan secara sadar generasi muda juga harus menjadikan ini sebagai momentum penting untuk hadir sebagai generasi pembaharu dalam setiap pergiliranya.


Leave a comment